KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “PERJANJIAN
DALAM JUAL BELI” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, keluarganya,
dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Dengan segala
kemampuan penulis yang terbatas, makalah ini mencoba menguraikan tentang tema,
topik, dan judul. Dan dengan adanya mekalah ini Penulis berharap sedikit
membantu para pembaca dan Penulis sendiri dalam memahami cara menentukan tema,
topik, dan judul yang baik dan benar.
Penulis menyadari bahwa dalam Penulisan Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Penulis mohon saran dan kritiknya yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan Makalah ini dengan harapan untuk memperbaiki
kualitas Makalah.
Mudah-mudahan Makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi kita semua yang membacanya.
Lhokseumawe,
09 Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
A.
Latar Belakang...................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN............................................................................... 3
A. Pengertian Perjanjian Jual
Beli.............................................................. 3
B. Asas-asas dan syarat
Perjanjian Jual Bel............................................... 5
C. Subjek dan Objek Perjanjian
Jual Beli................................................ 10
D. Hak dan Kewajiban para pihak
dalam perjanjian Jual Beli................. 11
E.
Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli..................................................... 13
BAB III. PENUTUP..................................................................................... 16
A. Kesimpulan ........................................................................................ 16
B. Saran .................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai
kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik.Kebutuhan itu tidak pernah dapat
dihentikan selama hidup manusia. Untuk mencapai kebutuhan itu, satu sama lain
saling bergantung. Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup
seorang diri. Manusia pasti memerlukan kawan atau orang lain. Oleh karena itu,
manusia perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling membantu
dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain
Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling
tolong menolong, kita dapat mebiasakan diri dengan menginfakkan atau memberikan
sebagian rezeki yang kita peroleh meskipun sedikit, seperti memberikan santunan
kepada fakir miskin, orang tua dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi bantuan
kepada orang yang sedang menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta
menjadi makhluk sosial yang tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk
memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di
pungkiri manusia membutuhkan manusia lain termasuk dalam jual beli.
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari
Hukum Perdata yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat
dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa
jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada
umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah
suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi
kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi
apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli dapat di tuntuk ke muka hukum
apabila ada sebuah kecurangan didalamnya. Untuk memahami lebih sepesifik
tentang jual beli mari kita rumuskan masalah sebagai berikut :
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian perjanjian jual beli tersebut?
2.
Apa saja syarat-syarat dan asas dari jual beli tersebut?
3.
Siapa yang menjadi objek dari jual beli?
4.
Kewajiban apakah yang harus terpenuhi dalam transaksi jual beli?
5.
Bagaimana bentuk-bentuk dalam jual beli?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian
perjanjian jual beli
2. Untuk mengetahui
syarat-syarat dan asas dari jual beli
3. Untuk mengetahui objek dari
jual beli
4. Untuk mengetahui Kewajiban
yang harus terpenuhi dalam transaksi jual beli
5. Untuk mengetahui
bentuk-bentuk dalam jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian
bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan
pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama
dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang
Hukum Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal
1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat
pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang
bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457
diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :[1]
1. Kewajiban pihak penjual
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli
membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual
beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak
pembeli.[2]
Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[3]
Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
a.
Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b.
Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan
harga
c.
Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan
pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah
barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat
tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli.Suatu perjanjian jual beli
yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang.
Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458
yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[4]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan
barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian
jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi
kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari
perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,
klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan
ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW)
atau biasa disebut unsur naturalia.[5]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara
kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli,
karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada
jenis bendanya yaitu :[6]
1.
Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan
penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.
Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda
tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah
tangan.
3.
Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya
dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan
Hipotek.
B.
Asas-asas dan syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian
umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada
beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu :[7]
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam
Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :[8]
a)
Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b)
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c)
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d)
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang
paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya
ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang
bagi perkembangan hukum perjanjian.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal
1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari
kedua belah pihak.[9] Asas konsensualisme
mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua
belah pihak.
3. Asas mengikatnya suatu
perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.Setiap orang yang membuat
kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut
mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para
pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas iktikad baik (Goede
Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :[10]
a.
Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin
memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si
B.
b.
Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.
Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman)
yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak
mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.
5.
Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat
mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat
dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak
ketiga.
Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas
perjanjian, yaitu :[11]
1. Kebebasan mengadakan
perjanjian
2. Konsensualisme
3. Kepercayaan
4. Kekuatan Mengikat
5. Persamaan Hukum
6. Keseimbangan
7. Kepastian Hukum
8. Moral
9. Kepatutan
10. Kebiasaan
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang
terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat
sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu
jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian
adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak.Yang dimaksud
dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam
perjanjian.Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari
salah satu pihak pada pihak lainnya.Sepakat juga dinamakan suatu perizinan,
terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang
pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya
persesuaian kehendak, yaitu dengan :[12]
a.
Bahasa yang sempurna dan tertulis
b.
Bahasa yang sempurna secara lisan
c.
Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
(Karena dalam kenyataannya seringkali
seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh
pihak lawannya.)
d.
Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e.
Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan
tidak tertulis .Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya
dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan.Akta di bawah tangan
adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang
membuat akta.Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila
didasarkan :
·
Kekhilafan (dwaling)
·
Paksaan (geveld)
·
Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian
tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat
dilaksanakan.
2. Cakap untuk membuat suatu
perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan
suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu
perjanjian.Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan
akibat hukum.Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
sudah dewasa.Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a.
Orang yang belum dewasa
b.
Orang yang dibawah pengampuan
c.
Seorang istri.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung,
melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,
orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka
berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek
perjanjian.Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang
dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat
sesuatu.Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri
atas :[13]
·
Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
·
Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun
rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
·
Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi
syarat-syarat :
a.
Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau
sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1
kwintal.
b.
Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat
mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak
bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak
boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita
kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh
mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada
kepentingan lagi
c.
Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
d.
Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
4. Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal.Yang dimaksud dengan sebab
yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek
perjanjian.Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu dapat diminta pembatalannya.Pihak yang dapat meminta pembatalan
itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara
tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka
akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat
menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
C.
Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah merupakan
perbuatan hukum.Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum.Subjek Hukum
terdiri dari manusia dan badan hukum.Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang
atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai
penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau
sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan
untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:[14]
1. Jual beli Suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual
beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak
saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada
perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:[15]
a. Jika seorang suami atau
istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh
Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau
istri menurut hukum.
b. Jika penyerahan dilakukan
oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan
pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang
telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu
dikecualikan dari persatuan.
c. Jika si istri menyerahkan
barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah
janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
2. Jual beli oleh para Hakim,
Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan
jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa.Apabila
hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan
untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
3. Pegawai yang memangku
jabatan umum
Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli
untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Sedangkan Objek jual Beli Yang dapat menjadi
objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak,
baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak
diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :[16]
a. Benda atau barang orang lain
b. Barang yang tidak
diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang
c. Bertentangan dengan
ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata
memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli.
Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau
hak yang dapat dimiliki.Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli
tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang
yang bukan hak milik.
D.
Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian
Jual Beli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang
telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua
belah pihak. Sedangkan Kewajiban Penjual adalah sebagai berikut :
1. Menyerahkan hak milik atas
barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal
tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak
bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk
masing-masing barang tersebut yaitu :[17]
a. Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat
dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan
kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan
yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan
penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
b. Penyerahan Benda Tidak
Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak
diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah
dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
c. Penyerahan Benda Tidak
Bertubuh
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan
penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta
dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis,
disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa
dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena
surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.
Menanggung
kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat
tersembunyi.
Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations
Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang
kewajiban pokok dari penjual yaitu sebagai berikut :[18]
Ø Menyerahkan barang
Ø Menyerahterimakan dokumen
Ø Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah
dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis.Di dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United
Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah
diatur tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.[19]
Pasal 53 sampai 60 United Nations Convention on Contract for the
International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban
pokok pembeli yaitu:[20]
-
Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
-
Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
-
Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang
termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas
yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk
memungkinkan pelaksanaan pembayaran.Tempat pembayaran di tempat yang disepakati
kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
-
Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang
telah dibuat
-
Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos
antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa
Kewajiban dari pihak pembeli adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan
sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak
Pembeli.
E.
Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada
suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat
bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa
perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga
apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan
demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian
saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya
perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk
perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1. Lisan, yaitu dilakukan
secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya
melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2. Tulisan, yaitu Perjanjian
Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik
maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.[21]
Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Akta Pejabat (acte
amtelijke)
Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan
apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal
dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta
Kelahiran.
2. Akta Para Pihak (acte
partij)
Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif
pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang.Contohnya akta
sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat
untuk tujuan pembuktian namun tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.[22]
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari
para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah
tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta
dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya.
Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru
memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang
menandatanganinya sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah,
maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum
pembuktian yang kuat seperti akta autentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan
dengan akta otentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut,
akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan
keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti
kepalsuannya.[23] Maksudnya adalah bahwa
jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di
bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan
tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang
akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang
menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu.
Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian
sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari Sedikit pemaparan diatas, dapat kita
Kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian dari jual beli
dapat berarti suatu perjanjian yang bertimbal balik dan suatu perjanjian yang
konsensuil. Maksudnya disini adalah perbuatan jual beli ini menimbulkan suatu
kewajban bagi kedua belah pihak yang saling berkaitan antara pihak penjual dan
pembeli dan ditandai dengan adanya suatu penerimaan yang dilakukan oleh pembeli
dan penyerahan yuang dilakukan oleh penjual.
2. Dalam peristiwa jual beli
ada ketentuan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban penjual maupun pembeli
memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian diantara mereka. Dimana perjanjian
tersebut berlaku selayaknya Undang –undang bagi kedua belah pihak.pihak penjual
berhak memperoleh pembayaran atas kebendaan yang telah diserahkan dan pembeli
berhak untuk memperoleh jaminan atas kebendaan yang diterima dari penjual.
3. Dalam hal-hal khusus seperti
pembelian kembali kebendaan yang telah diperjualbelikan sebagimana yang
disepakati dalam perjanjian, pihak penjual harus membayarkan sejumlah harga
yang telah dibayarkan oleh pembeli beserta jumlah dari penambahan nilai yang
dilakukan pembeli atas kebendaan tersebut sehingga harga jual kebendaan
tersebut bertambah.
B.
Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai
Hukum Perdata Wa bill khususu membahas Perjanjian Jual Beli, yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Darus Mariam Badrulzaman, KUHPERDATA Buku
III, Bandung : Alumni, 2006,
H.S. Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003
Harahap M. Yahya, Segi-segi Hukum
Perjanjian, Bandung : Alumni,1986,
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan
Kontrak, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Rahardjo Handri, Hukum Perjanjian di
Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009,
Subekti R. Aneka Perjanjian, Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1995
[1]
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986,
hlm. 181
[2]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 49
[3]Ibid,.
hal.49
[4]
Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995,
hlm. 2.
[5]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127.
[6]
Op.Cit. Salim H.S.hlm. 49.
[7]
Ibid.hlm. 9.
[8]
Ibid, hal. 9
[9]
Ibid. hlm. 10
[10]
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka
Yustisia, 2009, hlm. 45.
[11]
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Alumni, 2006,
hlm. 108-120
[12]
Op. Cit. Salim H.S., hlm. 33.
[13]
Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru hlm. 69
[14]
Op. Cit. Salim hlm. 49.
[15]
Ibid., hal. 49
[16]
Ibid. hlm. 50.
[17]
Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 128
[18]
Op. Cit. Salim H.S., hlm. 56.
[19] Ibid., hal. 56
[20]
Ibid., hal. 56
[21]
Op. Cit. Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit,
Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 10
[22]
Ibid, hal. 10
[23]
Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 15.